BPUPKI resmi dibentuk tanggal 29 April 1945. Badan ini, yang
beranggotakan 63 orang, memulai sidang pertamanya pada tanggal 29 Mei
1945. Nah, di sini ada kontroversi: ada yang menyebut Mohammad Yamin
menyampaikan pidato tanggal 29 Mei 1945 dan isi pidatonya sama persis
dengan Pancasila sekarang ini.
Dalam pidatonya Yamin mengusulkan 5 azas: peri kebangsaan, peri
kemanusiaan, peri ke Tuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Karena itu, banyak orang yang menyebut Muhamad Yamin sebagai penemu Pancasila. BJ Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, secara terang-terangan menyebut Muh Yamin sebagai penemu Pancasila, bukan Bung Karno.
Tesis ini makin diperkuat di jaman Orde Baru. Ini juga dalam kerangka
de-soekarnoisme. Nugroho Notosusanto, salah seorang ideolog orde baru,
banyak menulis tentang sejarah kelahiran Pancasila dengan mengabaikan
sama sekali peranan Soekarno.
Dengan penelitian yang sudah bisa ditebak hasilnya, Nugroho
Notosusanto menyimpulkan bahwa penemu Pancasila bukanlah Soekarno,
melainkan Mohammad Yamin dan Soepomo. Itu menjadi pegangan dalam
buku-buku penataran P4 dan buku-buku sejarah Orde Baru.
Nugroho Notosusanto, seorang yang anti-marxisme, menuding sila kedua
Pancasila versi Bung Karno, yaitu Peri Kemanusiaan/Internationalisme,
sangat identik dengan semangat internasionalisme kaum komunis.
Suatu hari, ketika Bung Hatta memberi ceramah di Makassar, seorang
mahasiswa mengeritik Bung Hatta karena menyebut Bung Karno sebagai
penggali Pancasila. Si mahasiswa itu, entah dicekoki oleh kesimpulan
Nugroho Notosusanto, menyebut Mohammad Yamin sebagai penemu Pancasila.
Hatta pun bertanya dari mana mahasiswa tahu? Dijawab oleh sang
mahasiswa, “Dari buku Yamin”. Hatta segera mengatakan, “Buku itu tak
benar!”
Rupanya, menurut versi Bung Hatta, Mohamad Yamin tidak berpidato
tentang 5 azas itu pada 29 Mei 1945. Pidato itu, kata Bung Hatta—yang
saat itu anggota BPUPKI dan panitia kecil—mengingat Pidato Yamin itu
disampaikan di Panitia Kecil.
Menurut Bung Hatta, yang saat itu juga anggota BPUPKI, penemu
Pancasila itu adalah Bung Karno. Saat itu, kata Bung Hatta, di kalangan
anggota BPUPKI muncul pertanyaan: Negara Indonesia Merdeka” yang kita bangun itu, apa dasarnya? Kebanyakan anggota BPUPKI tidak mau menjawab pertanyaan itu karena takut terjebak dalam perdebatan filosofis berkepanjangan.
Akan tetapi, pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menjawab pertanyaan
itu melalui pidato berdurasi 1 jam. Pidato itu mendapat tepuk-tangan
riuh dari anggota BPUPKI. Sesudah itu, dibentuklah panitia kecil
beranggotakan 9 orang untuk merumuskan Pancasila sesuai pidato Soekarno.
Panitia kecil itu menunjuk 9 orang: Soekarno, Hatta, Yamin, Soebardjo,
Maramis, Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, dan Abdul Kahar Muzakkir.
Panitia kecil inilah yang mengubah susunan lima sila itu dan
meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa di bagian pertama. Pada tanggal 22
Juni 1945 pembaruan rumusan Panitia 9 itu diserahkan kepada Panitia
Penyelidik Usaha–Usaha Kemerdekaan Indonesia dan diberi nama “Piagam Jakarta”.
Pada 18 Agustus 1945, saat penyusunan Undang-Undang Dasar, Piagam
Jakarta itu mengalami sedikit perubahan: pencoretan 7 kata di belakang
Ketuhanan, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat islam kepada
penduduknya.” Begitulah, Pancasila masuk dalam pembukaan UUD 1945.
Apa yang dikatakan Bung Hatta mirip dengan penuturan Bung Karno.
Dalam Buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, Bung Karno mengatakan,
selama tiga hari sidang pertama terjadi perbedaan pendapat. Artinya,
jika sidang dimulai tanggal 29 Mei 1945, maka hingga tanggal 31 Mei
belum ada kesepakatan.
Terkait tanggal 29 Mei itu, seorang pakar UI, Ananda B Kusuma,
menemukan Pringgodigdo Archief. Dokumen ini cukup penting, sebab memuat
catatan-catatan tentang sidang itu. Menurut dokumen itu, orang-orang
yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945 itu: MRM. Yamin (20 menit), Tn.
Soemitro (5 menit), Tn. Margono (20 menit), Tn. Sanusi (45 menit), Tn.
Sosro diningrat (5 menit), Tn. Wiranatakusumah (15 menit).
Sidang itu diberi alokasi waktu 130 menit. Akan tetapi, yang cukup
aneh, Yamin disebut berpidato 120 menit. Padahal, saat itu ada lima
pembicara lain yang juga harus menyampaikan pidatonya.
G. Moedjanto, seorang sejarahwan, juga menemukan kejanggalan pada
pidato Yamin—yang disebut tanggal 29 Mei 1945 itu. Pada alinea terakhir
berbunyi: “Dua hari yang lampau tuan Ketua memberi kesempatan kepada
kita sekalian juga boleh mengeluarkan perasaan”. “Dua hari yang lampau”
itu berarti tanggal 27 Mei 1945, sedangkan sidang baru dibuka pada
tanggal 29 Mei 1945. Artinya, seperti dikatakan Bung Hatta, pidato Yamin
itu memang disampaikan di Panitia Kecil—pasca Soekarno menyampaikan
pidato tanggal 1 Juni 1945.
Mohammad Yamin sendiri mengakui Bung Karno sebagai penggali
Pancasila. Itu dapat dilihat di pidato Yamin pada 5 Januari 1958 :
“Untuk penjelasan ingatlah beberapa tanggapan sebagai pegangan sejarah: 1
Juni 1945 diucapkan pidato yang pertama tentang Pancasila…, tanggal 22
Juni 1945 segala ajaran itu dirumuskan di dalam satu naskah politik yang
bernama Piagam Jakarta … dan pada tanggal 18 Agustus 1945 disiarkanlah
Konstitusi Republik Indonesia, sehari sesudah permakluman kemerdekaan
Republik Indonesia. Dalam konstitusi itu pada bagian pembukaan atau
Mukadimahnya dituliskan hitam di atas putih dengan resmi ajaran filsafat
pancasila.”
Roeslan Abdulgani, yang sempat menjadi Menteri Penerangan di era Bung
Karno, juga menyebut Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Dua
pemikiran besar di dalam pancasila, yaitu Sosio-nasionalisme
(penggabungan sila ke-2 dan ke-3) dan Sosio-demokrasi (penggabungan sila
ke-4 dan ke-5), sudah ‘digarap’ oleh Bung Karno sejak tahun 1920-an.
Dalam konteks ini, Hatta juga punya peranan ketika menaburkan ide-ide
tentang demokrasi kerakyatan.
Dari mana datangnya istilah Pancasila itu? Dalam buku “Manusia dan
Masyarakat Baru Indonesia (Civic)” dikatakan, kata “Pancasila” berasal
dari bahasa Sangsekerta: Panca berarti lima, sedangkan sila berarti
dasar kesusilaan.
Sebagai kata majemuk, kata “Pancaҫila” sudah dikenal dalam agama
Budha. Bila diartikan secara negatif, ia berarti lima pantangan: (1)
larangan membinasakan makhluk hidup, (2) larangan mencuri, (3) larangan
berzinah, (4) larangan menipu, dan (5) larangan minum miras.
Dalam karangan Mpu Prapantja, Negarakretagama, kata
“Pancaҫila” juga ditemukan di buku (sarga) ke-53 bait kedua:
“Yatnanggegwani Pancaҫila Krtasangskarabhisekakrama (Raja menjalankan
dengan setia kelima pantangan itu, begitu pula upacara ibadat dan
penobatan).
Akan tetapi, jika diperhatikan dengan seksama, tidak ada keterkaitan
antara Pancaҫila dalam Budha dan Negarakretagama dengan Pancasila yang
menjadi dasar atau ideologi bangsa kita itu.
Bung Karno, dalam kursus Pancasila di Istana Negara, 5 Juni 1958,
membantah pendapat bahwa “Pancasila (dasar negara kita) adalah perasan
dari Buddhisme. Katanya, Pancasila itu tidak pernah congruent dengan agama tertentu, tetapi juga tidak pernah bertentangan dengan agama tertentu.
Soekarno sendiri menolak disebut sebagai “penemu Pancasila”. Baginya,
lima mutiara dalam Pancasila itu sudah ada dan hidup di bumi dan
tradisi historis bangsa Indonesia. Soekarno hanya menggalinya setelah
sekian la
ma tercampakkan oleh kolonialisme dan penetrasi kebudayaan asing.
sumber artikel :
(Rudi Hartono)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Peran Pemuda Dalam Menciptakan Keadaban Ruang Publik
Indonesia adalah negeri yang penuh cerita keramahtamahan, sopan santun, dan kuatnya tali kasih antar sesama. Setiap orang asing yang datang...
-
Dekat pada akhir bulan Mei 1945 Dr.Rajiman, Ketua Pantia Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia, membuka sidang panitia itu dengan me...
-
Indonesia adalah negeri yang penuh cerita keramahtamahan, sopan santun, dan kuatnya tali kasih antar sesama. Setiap orang asing yang datang...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar